Produksi berarti diciptakannya
manfaat, produksi tidak diartikan sebagai menciptakan
secara fisik sesuatu yang tidak ada, karena tidak seorang pun dapat menciptakan benda. Kegiatan produksi
mempunyai fungsi menciptakan barang
dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada waktu, harga dan jumlah yang tepat.
Dalam proses produksi biasanya
perusahaan menekankan agar produk yang
dihasilkannya mengeluarkan biaya yang termurah, melalui peng-kombinasian penggunaan sumber-sumber daya yang
dibutuhkan, tentu saja tanpa
mengabaikan proses inovasi serta kreasi. Secara praktis, ini memerlukan perubahan dalam cara membangun. Yakni dari
cara produksi konvensional
menjaai cara produksi dengan menggunakan sumber daya alam semakin sedikit, membakar energi semakin
rendah, menggunakan ruang-tempat
lebih kecil, membuang limbah dan sampah lebih sedikit dengan hasil
produk yang setelah dikonsumsi masih bisa didaur ulang.
Pola produksi ini dilaksanakan dalam
ruang lingkup dunia usaha yang merangsang
diterapkannya secara lebih meluas ISO-9000 dan ISO-14000. ISO-9000 bertujuan untuk peningkatan kualitas
produksi. Sedangkan ISO-14000 bertujuan untuk peningkatan pola
produksi berwawasan lingkungan, membangun
pabrik atau perusahaan hijau (green company) dengan sasaran
keselamatan kerja, kesehatan, dan lingkungan yang maksimal dan pola produksi dengan limbah nol (zero
waste), mendorong penjualan dengan pengepakan barang secara minimal dan bisa dikembalikan
untuk didaur-ulang kepada
penjual, merangsang perusahaan asuransi mengembangkan risiko lingkungan dan mendorong Bursa Jakarta
mengembangkan semacam "Dow
Jones Sustainable Development Index".
Langkah-langkah tersebut memerlukan
ditegakkannya kode etika tanggung jawab dan akuntabilitas korporasi (corporate
responsibility and accountability) yang diawasi ketat oleh
asosiasi-asosiasi perusahaan dan masyarakat umum. Kualitas produk pun bisa dikorbankan demi
pemangkasan biaya produksi.
Hukum harus menjadi langkah
pencegahan (precautionary measures) yang ketat bagi perilaku ekonomi.
Perilaku ekonomi yang membahayakan keselamatan publik harus diganjar seberat-beratnya. Ini
bukan sekadar labelisasi aman
atau tidak aman pada barang konsumsi. Karena, itu amat rentan terhadap kolusi. Banyak pengusaha
rela membayar miliaran rupiah bagi segala bentuk labelisasi. Seharusnya
pengusaha membayar miliaran rupiah atas perbuatannya yang membahayakan keselamatan
publik. Hukum harus menjadi pencegah dan bukan pemicu perilaku ekonomi tak
etis.
Contoh Kasus
Sebagai contoh kasus di luar negeri
yang terjadi pada biskuit Arnotts di Australia. Pada suatu saat perusahaan ditelpon oleh
seseorang yang hendak memeras
perusahaan tersebut bahwa salah satu kemasan produknya berisi biskuit yang
beracun tidak diketahui kecuali oleh si pemeras tersebut. Perusahaan dihadapkan pada dua pilihan
yaitu membayar orang yang memeras tersebut untuk menunjukkan produk mana yang beracun, atau menarik seluruh peredaran biskuit
tersebut. Namun perusahaan lebih memilih untuk menanggung kerugian yang besar
dengan menarik seluruh produk-produknya dan memusnahkannya. Ternyata itu menanamkan kepercayaan konsumen
kepada perusahaan, walaupun pada saat itu perusahaan menanggung
kerugian yang cukup besar, namun
ternyata enam bulan kemudian pendapatan perusahaan naik tiga kali lipat.
Contoh kasus yang ada di Indonesia
terjadi pada kasus Ajinomoto, dimana saat dinyatakan oleh MUI bahwa produknya tidak
halal, Ajinomoto menarik semua
produknya, dan perusahaan pun menanggung banyak kerugian.
Namun dengan
mengindahkan himbauan dari MUI dan dengan melakukan pendekatan dengan para ulama, kinerja keuangan
yang semula menurun tajam
lama kelamaan naik.
Sumber
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar